24.9.10

man jadda wajada

Negeri 5 Menara

sebuah novel tentang pendidikan yang menggugah nurani.
bahasa yang dinamis, terkadang lembut, terkadang begitu kuat sehingga aku seolah ikut begadang semalaman untuk bersiap menghadapi ujian bersama alif. berkeringat memanggul lemari diburu lonceng tanda berkumpul di masjid. merasakan mual karena bau pengap di bus lintas propinsi yang ditumpanginya. merasakan debar jantung dan desir darah ketika bertemu dengan sarah. dan berteriak dengan lantang hingga semua otot leher terasa kaku dan suara serak "MAN JADDA WAJADA"

membaca novel ini, membuatku tidak ingin berhenti. aku ingin terus menekuri halaman demi halaman. ritme membacaku kadang cepat kadang lambat, mengikuti alur cerita. hingga ada rasa kehilangan ketika telah sampai di bagian akhir cerita.
 
satu lagi, novel yang sangat inspiratif bagi pendidikan. sebuah referensi fiksi yang terasa begitu nyata. dan berikut adalah cuplikan novel yang membuatku begitu tergugah, dan membuat alif benar-benar hidup:
 
 

“MAN JADDA WAJADA!!!”

Teriak laki-laki muda bertubuh kurus itu lantang. Telunjuknya lurus teracung tinggi ke udara, suaranya menggelegar, sorot matanya berkilat-kilat menikam kami satu persatu. Wajah serius, alisnya hampir bertemu dan otot gerahamnya bertonjolan, seakan mengerahkan segenap tenaga dalamnya untuk menaklukkan jiwa kami. Sungguh mengingatkan aku kepada karakter tokoh sakti mandraguna di film layar tancap keliling di kampungku, persembahan dari Departemen Penerangan waktu itu.

Man jadda waja: sepotong kata asing ini bak mantera ajaib yang ampuh bekerja. Dalam hitungan beberapa helaan napas saja, kami bagai tersengat ribuan tawon. Kami, tiga puluh anak tanggung, menjerit balik, tidak mau kalah kencang.


“Man jadda wajada! “

Berkali-kali, berulang-ulang, sampai tenggorokanku panas dan suara serak. Hingar bingar ini berdesibel tinggi. Telingaku panas dan berdenging-denging sementara wajah kami merah padam memporsir tenaga. Kaca jendela yang tipis sampai bergetar-getar di sebelahku. Bahkan, meja kayuku pun berkilat-kilat basah, kuyup oleh air liur yang ikut berloncatan setiap berteriak lantang.

Tapi kami tahu, mata laki-laki kurus yang energik ini tidak dimuati aura jahat sama sekali. Sebaliknya, dia dengan royal membagi energi positif yang sangat besar dan meletup-letup. Kami tersengat dan menikmatinya. Sumbu kecil kami terpercik api, mulai terbakar, membesar, dan terang! Kami bagai lilin kecil yang baru dinyalakan.

Dengan wajah berseri-seri dan senyum sepuluh centi menyilang di wajahnya, laki-laki ini hilir mudik di antara bangku-bangku murid barunya, mengulang-ulang mantera ajaib ini di depan kami bertiga puluh. Setiap dia berteriak, kami menyalak balik dengan kata yang sama, man jadda wajada. Mantera ajaib berbahasa Arab ini bermakna ringkas tapi tegas:

”Siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil”.

Laki-laki ramping ini adalah Ustad Salman, wali kelasku. Rambutnya ikal dipotong pendek, jambangnya dibiarkan agak pajang. Wajahnya lonjong kurus, sebagian besar dikuasai keningnya yang lebar. Alisnya yang tebal datar menaungi sepasang bola matanya yang lincah dan memancarkan sinar kecerdasan. Dagunya ditumbuhi jenggot yang dipangkas rapi. Kaki dan tangannya yang panjang gesit bergerak ke setiap sudut kelas. Sebuah dasi berwarna merah tua terikat rapi di leher kemeja putihnya yang licin. Kedua lengan bajunya lebar dan berkibar-kibar setiap dia melenggangkan tangan dengan cepat. Lipatan celana hitamnya berujung tajam seperti baru saja disetrika. Sepatu hitam bertalinya mempunyai sol tebal dan selalu berdekak-dekak setiap dia berjalan di ubin kelas kami.

Selain kelas kami, ada sekitar puluhan kelas lain yang bernasib sama. Masing-masing dikomandoi seorang kondaktur yang energik. Sang kondaktur menyalakkan “manjadda wajada” dengan penuh otoritas sehingga membuat para subjeknya tergugah dan menjerit kencang. Hampir satu jam non stop, kalimat ini bersahut-sahutan dan bertalu-talu. Koor ini bergelombang seperti guruh di musim hujan, menyesaki udara pagi di sebuah desa terpencil di udik Ponorogo.

Inilah pelajaran hari pertama kami di PM. Kata mutiara sederhana yang sangat kuat yang terus menjadi kompas kehidupan kami kelak.

Negeri Lima Menara adalah novel pertama A. Fuadi. Diterbitkan Gramedia pertengahan Agustus 2009. Novel ini bagian pertama dari trilogi.
sumber: http://www.negeri5menara.com/index.php/intipisi/cuplikan-novel/58-cuplikan-5-man-jadda-wajada

No comments:

Post a Comment