30.9.10

pride and prejudice

 


Summary:de_siah
Novel ini berkisah tentang seorang gadis cantik dan seorang pemuda tampan dan kaya yang saling jatuh cinta. Ditulis pada tahun 1796-1797 dan dipublikasin pertama kali pada tahun 1813. Berawal dengan kedatangan Tuan William Bingley, pemuda tampan dari keluarga kaya ke daerah tempat tinggal Lizzy (Elizabeth). Lizzy bersama keempat saudara perempuannya diundang ke pesta yang diadakan untuk menyambut kedatangannya. Karena Tuan Bennet tidak mempunya anak laki-laki, dan tradisi Inggris saat itu hanya mewariskan harta kepada penerus laki-laki, maka jika Tuan Bennet meninggal kelak, yang akan mewarisi seluruh hartanya adalah Tuan William Collins, keponakan ayahnya yang tidak mereka kenal. Khawatir dengan nasib puteri-puterinya sepeninggal dirinya kelak, Tuan Bennet dan istrinya berusaha agar anak-anaknya cepat menikah dengan orang yang dipandang mampu.Kedatangan tuan Bingley ke desa itu, memberi harapan pada keluarga tersebut, Nyonya Bennet berharap Tuan Bingley akan tertarik pada salah satu anaknya, terutama Jane, Jane adalah puteri tertua dan yang paling cantik diantara mereka berlima.Pesta yang ditunggu tiba, semua yang hadir tampak gembira. Ternyata Tuan Bingley tidak datang sendiri, tetapi bersama kakak perempuannya Lady Caroline dan sahabatnya, Tuan Darcy. Saat istirahat, Nyonya Bennet mendesak suaminya agar memperkenalkan puteri-puteri kepada Tuan Bingley. Sesuai harapan, Tuan Bingley mengajak Jane dansa. Lizzy bertanya apakah Tuan Darcy mau berdansa dengannya, namun ditolak. Lizzy pergi meninggalkan Tuan Darcy dan bergabung dengan Charlotte. Menurut Lizzy, Tuan Darcy pemuda tampan, kaya yang arogan.Tuan Collins datang dan berniat mencari isteri. Pertama ia menyukai Jane namun karena Jane sudah dengan Tuan Bingley ia mengalihkan perhatiannya kepada Lizzy. Dia berniat memperistri Lizzy. Ibunya senang mendengar hal itu, namun tidak dengan Lizzy. Ia tidak menyukai Tuan Collins. Lizzy menolaknya. Hal itu membuat ibunya histeris, dan memaksa suaminya membujuk Lizzy. Tapi Tuan Bennet membela puterinya.Lizzy bersaudara diundang lagi ke pesta Tuan Bingley. Sebelum pesta, mereka sempat berkenalan dengan Tuan Wickham, seorang tentara muda yang gagah dan tampan, pernah tinggal di rumah Tuan Darcy. Tuan Collins juga hadir disitu dan terus mengejar Lizzy, Lizzy berusaha menghindar. Tuan Darcy mengajak Lizzy berdansa dengannya. Mereka berdansa sambil berbicara, seolah-olah hanya mereka saja yang ada disitu. Namun akhirnya Lizzy meninggalkannya dengan marah.Seminggu kemudian, Jane dapat undangan makan malam dari kakak Tuan Bingley, Lady Caroline. Setiba disana Jane jatuh sakit akibat cuaca buruk dan tidak bisa pulang ke rumah. Karena khawatir terhadap kakaknya, Lizzy nekad menyusulnya. Disana ia bertemu Lady Caroline dan Tuan Darcy. Ketika mau pulang keesokan harinya, saat Lizzy hendak naik ke kereta kuda, tanpa sadar Tuan Darcy memegang tangan Lizzy untuk membantunya naik ke kereta. Peristiwa itu memberi kesan yang mendalam bagi keduanya.Kabar buruk bagi Jane, beberapa hari kemudian Tuan Bingley tiba-tiba memutuskan hubungan dengannya. Meski sedih, Jane berusaha tetap tabah. Lizzy berkunjung ke rumah Charlotte yang kini sudah menikah dengan Pendeta Collins. Disana Lizzy diperkenalkan kepada Lady Catherine yang ternyata adalah bibi Tuan Darcy. Tanpa disangka Tuan Darcy ada disana. Keesokan harinya Tuan Darcy datang kerumah Pendeta Collins, saat itu Lizzy sedang sendiri karena Charlotte dan Pendeta William sedang pergi. Tuan Darcy tampak kikuk, kemudian buru-buru pergi lagi.Saat di gereja, Lizzy mendapat berita yang mengejutkan. Dari pengawal Tuan Darcy, Lizzy diberitahu bahwa yang punya peran besar putusnya Tuan Bingley dan Jane adalah Darcy. Lizzy marah besar. Kemarahannya menutupi perasaan cintanya pada Tuan Darcy.Saat Tuan Darcy menyatakan cintanya pada Lizzy, Lizzy dengan tegas menolak. Ia marah dan minta penjelasan atas sikap Tuan Darcy terhadap kakaknya Jane, dan juga mempertanyakan sikapnya memusuhi Tuan Wickham.Malam harinya, ketika Lizzy sedang melamun dikamarnya, Tuan Darcy datang dan menaruh surat diatas meja kamarnya. Lizzy berbalik namun hanya melihat Tuan Darcy pergi dengan kudanya. Lizzy mengambil surat itu dan membacanya. Surat tersebut berisi penjelasan atas sikapnya mengenai Jane dan Bingley, juga tentang Tuan Wickham.Sepulangnya dari rumah Charlotte, Lizzy berkunjung ke rumah bibinya di kota. Dari sana mereka pergi berkunjung ke Pemberley, rumah Tuan Darcy yang dibuka untuk umum. Karena Tuan Darcy jarang berada dirumah itu, Lizzy menerima ajakan untuk berkunjung kesana. Ternyata Tuan Darcy ada disana, mereka bertemu dengan kikuk. Lizzy buru-buru pulang ke penginapan. Malam hari Tuan Darcy datang ke tempat Lizzy menginap dan mengundang mereka bertiga makan malam besok di rumahnya.Pulang ke penginapan, Lizzy mendapat surat dari Jane yang mengabarkan bahwa Lidya kabur bersama Tuan Wickham. Tuan Darcy menawarkan diri untuk mencari. Lizzy pulang ke rumah dengan perasaan kacau. Surat dari pamannya datang, mengabarkan bahwa Lidya sudah ditemukan dan menikah. Ketika Lidya pulang bersama suaminya, Tuan Wickham, saat makan, Lidya kelepasan berbicara bahwa Tuan Darcylah yang membantu menikahkan mereka. Lizzy terkejut.Suatu hari Tuan Bingley ditemani Tuan Darcy datang ke rumah Lizzy untuk melamar Jane. Hal itu disambut gembira mereka sekeluarga. Namun ketika tengah malam, mereka kedatangan tamu yang ternyata Lady Catherine. Beliau ingin berbicara dengan Lizzy dan memintanya meninggalkan Tuan Darcy, karena sudah dijodohkan dengan puterinya. Lizzy bingung, ia merasa tidak punya hubungan apa-apa dengan Darcy. Namun karena terus dihina oleh Lady Catherine, membuat Lizzy marah dan berjanji tidak akan berhubungan dengan Darcy. Semalaman Lizzy tidak tidur, ia terus melamun sepanjang malam. Saat subuh, Lizzy pergi keluar untuk jalan-jalan sambil menenangkan pikirannya. Ia melihat Tuan Darcy dari jauh berjalan mendekat. Tuan Darcy menjelaskan semua, dan berjanji tidak akan mengganggu Lizzy lagi jika Lizzy tak mecintainya. Karena Lizzy sudah mengetahui siapa Tuan Darcy sebenarnya dan mencintainya, Lizzy menerimanya dengan senang hati. Mereka pulang ke rumah Lizzy untuk menghadap Tuan Bennet, ayah Lizzy. Cerita yang romantis dan mengharukan. Lizzy (Elizabeth) Bennet yang cerdas yang akhir menemukan kekasih hatinya, Tuan Fitzwilliam Darcy.
Pride and Prejudice Originally published in Shvoong: http://id.shvoong.com/books/490433-pride-prejudice/
 
 
 
 
 

to a certain someone

cinta kita berdiri di atas dua kaki. 
satu kaki adalah kepercayaan, kaki yang lainnya adalah kejujuran.
berdua mereka menopang cinta,
membuat cinta kita berjalan seirama menapaki hidup.
saat kau berbohong padaku dan aku tak lagi percayaimu, 
cinta kita lumpuh.
tak ada lagi kaki yang berjalan beriringan.
tak bisa lagi menjejaki rute kehidupan.
tak bisa lagi meraih mimpi-mimpi.
jadi, aku pergi.
mencari kaki yang lain, untuk kembali berdiri.
untuk kembali memulai sebuah perjalanan hidup.
atas nama cinta.
 

25.9.10

Good Morning

Terjaga satu jam lebih awal, membuatku leluasa menghabiskan pagi. Mungkin karena aku tidur lebih awal dan cukup nyenyak, badanku terasa sangat bugar. Pagi di hari sabtu, weekend, pertanda kegiatan jauh lebih padat dari hari biasa. Aku akan menghabiskan waktu di sekolah dari pagi hingga petang menjelang. Ada rapat yang harus ku hadiri.

Aku baru menyelesaikan dzikir ku ketika hujan mulai menyapa daun dan rerumputan. Mendung yang menggantung sejak malam akhirnya jatuh juga.
Suasana yang sejuk membuatku memutuskan untuk lebih lama berdialog dengan pemilik hujan dan alam semesta. Pagi ini begitu hening, mungkin karena orang lain lebih tertarik untuk mendekap kasur dan bantal guling masing-masing.

Pagi seperti ini, ditambah suami yang berada di luar kota, mengingatkan ku pada masa lajang yang kuhabiskan di utara bandung raya. Suasana sepi, udara dingin, dan hatiku yang larut dalam khidmatnya ibadah.

Suara deru motor tetangga yang beranjak bekerja meski hujan belum lagi reda, menyadarkanku untuk segera bersiap. Kulipat sajadah dan mukenah, lalu bergegas ke dapur. Hari ini banyak kegiatan, jadi wajib hukumnya untuk sarapan dan membawa camilan. Ditambah cuaca yang tak menentu, thypoid mulai mengancam.

Aku cukup akrab dengan penyakit yang berhubungan dengan pencernaan. Mulai dari sekedar diare, gastritis, hingga thypoid. Tapi semua penyakit itu tidak menghentikanku dari gaya hidup instan. Sejak jaman kuliah, makanan instan menemani hari-hariku. Dan kebiasaan itu masih berlanjut sampai sekarang. Pagi ini aku menyeduh bubur instan untuk sarapan ditemani susu beruang. Sebagai camilan saat istirahat nanti, aku siapkan roti tawar bertabur susu dan coklat ceres serta sebotol air mineral. Untuk makan siang, aku percayakan pada pak satim, tukang soto di sekolah.

Setelah selesai soal makanan, aku kembali ke kamar untuk memilih baju. Bobot tubuh yang bertambah, timbunan lemak di setiap sudut akibat kemakmuran dan terapi hormon yang kujalani, membuatku tidak punya banyak pilihan. Dan pilihanku kembali jatuh pada kemeja garis hijau dengan kerudung senada dan celana warna hitam. Semuanya berbahan katun agar nyaman dipakai sepanjang hari.

Selesai berdandan dan mematut diri di depan cermin sepatutnya, aku bergerak ke meja makan untuk melahap bubur instan yang sudah mulai dingin dan terlalu merekah. Rasanya memang kurang sedap, tapi cukuplah untuk mengganjal perut sampai waktu istirahat.

Sementara aku asik memperhatikan tingkah spongebob sambil menyuapkan bubur ke mulutku, terdengar suara gerbang belakang dibuka. Ternyata pak momon yang datang, siap untuk mengantarku ke sekolah. Sejak peristiwa 22 pebruari, suamiku ngotot untuk menyewa jasa supir pribadi yang siap mengantarku kemanapun.

Aku mengecek barang bawaanku. Roti, air, tempat pensil, absensi, dompet, dan...handphone. Siiiiiipppp. Semua lengkap. Ayo berangkat!!! Kita terjang hujan dengan semangat. (sampai disini aku terbaca seperti murid SD yach.....)

jalanan tampak lengang. Hanya ada beberapa mobil berseliweran dan manusia-manusia berpayung. Hingga seorang pengendara motor melewatiku dan aku tersadar akan sesuatu.
Hari ini harusnya aku pakai seragam PGRI......!!!!!!! Ah..... Ya sudahlah......

*catatan kaki
seandainya takdir berkata lain, mungkin pagiku akan lebih hiruk pikuk. Karena aku harus mengurusi makhluk Tuhan yang mungil dengan segala tingkah polahnya.
Maaf Tuhan, aku masih terluka. Salah satu hari di bulan september ini "was my due date".



24.9.10

man jadda wajada

Negeri 5 Menara

sebuah novel tentang pendidikan yang menggugah nurani.
bahasa yang dinamis, terkadang lembut, terkadang begitu kuat sehingga aku seolah ikut begadang semalaman untuk bersiap menghadapi ujian bersama alif. berkeringat memanggul lemari diburu lonceng tanda berkumpul di masjid. merasakan mual karena bau pengap di bus lintas propinsi yang ditumpanginya. merasakan debar jantung dan desir darah ketika bertemu dengan sarah. dan berteriak dengan lantang hingga semua otot leher terasa kaku dan suara serak "MAN JADDA WAJADA"

membaca novel ini, membuatku tidak ingin berhenti. aku ingin terus menekuri halaman demi halaman. ritme membacaku kadang cepat kadang lambat, mengikuti alur cerita. hingga ada rasa kehilangan ketika telah sampai di bagian akhir cerita.
 
satu lagi, novel yang sangat inspiratif bagi pendidikan. sebuah referensi fiksi yang terasa begitu nyata. dan berikut adalah cuplikan novel yang membuatku begitu tergugah, dan membuat alif benar-benar hidup:
 
 

“MAN JADDA WAJADA!!!”

Teriak laki-laki muda bertubuh kurus itu lantang. Telunjuknya lurus teracung tinggi ke udara, suaranya menggelegar, sorot matanya berkilat-kilat menikam kami satu persatu. Wajah serius, alisnya hampir bertemu dan otot gerahamnya bertonjolan, seakan mengerahkan segenap tenaga dalamnya untuk menaklukkan jiwa kami. Sungguh mengingatkan aku kepada karakter tokoh sakti mandraguna di film layar tancap keliling di kampungku, persembahan dari Departemen Penerangan waktu itu.

Man jadda waja: sepotong kata asing ini bak mantera ajaib yang ampuh bekerja. Dalam hitungan beberapa helaan napas saja, kami bagai tersengat ribuan tawon. Kami, tiga puluh anak tanggung, menjerit balik, tidak mau kalah kencang.


“Man jadda wajada! “

Berkali-kali, berulang-ulang, sampai tenggorokanku panas dan suara serak. Hingar bingar ini berdesibel tinggi. Telingaku panas dan berdenging-denging sementara wajah kami merah padam memporsir tenaga. Kaca jendela yang tipis sampai bergetar-getar di sebelahku. Bahkan, meja kayuku pun berkilat-kilat basah, kuyup oleh air liur yang ikut berloncatan setiap berteriak lantang.

Tapi kami tahu, mata laki-laki kurus yang energik ini tidak dimuati aura jahat sama sekali. Sebaliknya, dia dengan royal membagi energi positif yang sangat besar dan meletup-letup. Kami tersengat dan menikmatinya. Sumbu kecil kami terpercik api, mulai terbakar, membesar, dan terang! Kami bagai lilin kecil yang baru dinyalakan.

Dengan wajah berseri-seri dan senyum sepuluh centi menyilang di wajahnya, laki-laki ini hilir mudik di antara bangku-bangku murid barunya, mengulang-ulang mantera ajaib ini di depan kami bertiga puluh. Setiap dia berteriak, kami menyalak balik dengan kata yang sama, man jadda wajada. Mantera ajaib berbahasa Arab ini bermakna ringkas tapi tegas:

”Siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil”.

Laki-laki ramping ini adalah Ustad Salman, wali kelasku. Rambutnya ikal dipotong pendek, jambangnya dibiarkan agak pajang. Wajahnya lonjong kurus, sebagian besar dikuasai keningnya yang lebar. Alisnya yang tebal datar menaungi sepasang bola matanya yang lincah dan memancarkan sinar kecerdasan. Dagunya ditumbuhi jenggot yang dipangkas rapi. Kaki dan tangannya yang panjang gesit bergerak ke setiap sudut kelas. Sebuah dasi berwarna merah tua terikat rapi di leher kemeja putihnya yang licin. Kedua lengan bajunya lebar dan berkibar-kibar setiap dia melenggangkan tangan dengan cepat. Lipatan celana hitamnya berujung tajam seperti baru saja disetrika. Sepatu hitam bertalinya mempunyai sol tebal dan selalu berdekak-dekak setiap dia berjalan di ubin kelas kami.

Selain kelas kami, ada sekitar puluhan kelas lain yang bernasib sama. Masing-masing dikomandoi seorang kondaktur yang energik. Sang kondaktur menyalakkan “manjadda wajada” dengan penuh otoritas sehingga membuat para subjeknya tergugah dan menjerit kencang. Hampir satu jam non stop, kalimat ini bersahut-sahutan dan bertalu-talu. Koor ini bergelombang seperti guruh di musim hujan, menyesaki udara pagi di sebuah desa terpencil di udik Ponorogo.

Inilah pelajaran hari pertama kami di PM. Kata mutiara sederhana yang sangat kuat yang terus menjadi kompas kehidupan kami kelak.

Negeri Lima Menara adalah novel pertama A. Fuadi. Diterbitkan Gramedia pertengahan Agustus 2009. Novel ini bagian pertama dari trilogi.
sumber: http://www.negeri5menara.com/index.php/intipisi/cuplikan-novel/58-cuplikan-5-man-jadda-wajada

the nights

 
saat mentari memutuskan untuk mengundurkan diri sejenak dari panggung cakrawala, kegelapan mulai mengambil peran. bumi diselumuti warna hitam, pekat dan kian pekat. terkadang malam datang terlalu cepat dan pergi sangat lambat, menyisakan banyak waktu untuk dihabiskan dalam gelap.
 
dulu sewaktu masih balita, aku menghabiskan malam digendongan ayah sambil mendengarkan dongeng dan cerita rakyat sampai lelap. atau menunggangi punggungnya berkeliling rumah mencari nyamuk-nyamuk yang telah mati terkena obat semprot, mengumpulkan semuanya lalu membungkusnya dengan kertas koran. setelah itu dibakar, aku suka dengan bau asap dan suara pletok-pletok yang keluar dari badan nyamuk yang terbakar.

ketika awal-awal tahun di sekolah dasar, aku menghabiskan awal malam untuk mengaji di rumah pak ustadz yang sempit, berjejalan dengan anak lain untuk membaca huruf-huruf al-quran di bawah sorot lampu pijar 10 watt. setelahnya, aku akan memenuhi rumah dengan kartu alphabet dan belajar membuat dan membaca rangkaiannya dalam kata-kata. ibu bilang, aku tidak lancar membaca sampai kelas dua SD. hiks....
tapi sekarang aku malah sangat senang membaca dan menjadi guru bahasa yang harus menularkan kegemaran membaca pada murid-muridku.
 
pada malam liburan semester di akhir-akhir tahun sekolah dasar, aku akan menghabiskan malam dengan menonton si doel anak sekolah, dan bermain bulu tangkis bersama teman di komplek rumah. 

aku masih ingat, beberapa malam yang paling berkesan pada masa kecilku adalah ketika aku menginap di rumah nenek, tidur berjejalan dengan beberapa orang sepupu. setelah sebelumnya mendengarkan cerita masa kecil nenek tentang penjajah belanda, jepang, dan  PKI. 
aku juga akan melewatkan beberapa waktu malam untuk melihat pertunjukkan asap dari mamang yang perokok berat. aku selalu menganggap asap rokok yang dia tiupkan begitu indah dengan berbagai bentuk yang bisa keluar lewat mulut, hidung dan telinganya. hingga suatu malam, aku mendengar kabar kematian mamang karena kanker paru-paru. sejak saat itu, aku benci asap rokok.

malam-malam ketika aku mulai meninggalkan masa kanak-kanak terasa kian berat. saat SMP dan SMA aku menghabiskan malam dengan mengerjakan tugas, dan menghapal materi ujian. sering kali aku tertidur dikelilingi buku-buku sekolah. beberapa malam aku cemas karena merasa tidak siap menghadapi ujian sekolah. beberapa malam lagi, aku tidak nyenyak tidur karena terlalu pusing memikirkan tugas sekolah yang belum selesai.
dan sekarang, setiap kali memasuki kelas, aku selalu bertanya apakah murid-muridku melewati malam yang berat? seperti yang pernah aku alami?
 
saat menjalani masa kuliah diperantauan, aku menghabiskan malam pertama di kosan dengan menangis. setelah tujuh belas tahun tinggal di rumah, aku merasa takut dan tidak siap hidup di rantau. menjalani hari-hari ku sebagai mahasiswa. 
tapi itu hanya satu malam saja, karena malam-malam selanjutnya aku habiskan dengan tidur nyenyak karena lelah setelah menjalani orientasi kampus.
saat kegiatan perkuliahan mulai padat dan aku aktif di kegiatan kemahasiswaan, beberapa malam aku habiskan di kampus dengan para aktivis. merapatkan sesuatu hingga menyiapkan acara. 
beberapa malam aku habiskan di rentalan komputer milik ibu kos. karena uang kiriman dari ayah belum cukup untuk membeli komputer, sedangkan aku baru punya ide mengerjakan tugas kuliah setelah malam sudah larut. 
di tahun-tahun akhir kuliah, aku mengalami malam-malam yang berat dan panjang. bersyukur aku sudah bisa membeli komputer, jadi tidak perlu lagi begadang di rentalan, aku bisa mengetik laporan, makalah, dan booklet di kamar kos ku sambil diselingi makan cemilan, mie rebus, juga minum teh hangat yang ku buat dan seduh sendiri.
terkadang ditengah kesibukan malam hari, ibu menelpon untuk memberiku semangat. "............maaf ya nak, ibu hanya bisa bantu doa, semoga semua lancar, tetap sehat, dan diberi kelapangan pikiran untuk mengerjakan semua tugas kuliah, dan menjawab semua pertanyaan ujian."
 
ada tiga malam yang sangat berkesan selama kuliah, pertama adalah malam ketika aku berkesempatan menyaksikan pagelaran orkestra sebagai inagurasi teman-teman jurusan seni, kedua adalah malam pelepasan wisudwan, dan ketiga adalah malam menjelang sidang skripsi.
 
sekarang, saat aku semakin dewasa, malam adalah saat untuk bermuhasabah. tidak banyak tugas yang harus ku kerjakan hingga malam, karena itu malam hari lebih banyak ku habiskan untuk menghitung.
menghitung berapa banyak hati yang telah ku sakiti, apakah lebih banyak dari hati yang telah ku bahagiakan?
mengitung berapa banyak ilmu yang telah aku bagi, apakah lebih banyak dari gosip yang menyesatkan?
menghitung berapa banyak kantong plastik yang telah aku  buang? berapa banyak kertas yang telah aku pakai? berapa banyak polusi yang telah kusebarkan kepada alam? apakah sebanding dengan usahaku menjaga alam hanya dengan membuang sampah pada tempatnya?
menghitung berapa detik yang telah kuhabiskan untuk bersyukur? apakah lebih banyak dari waktu yang kuhabiskan untuk merutuki hidup?
mengira-ngira apakah masih sanggup melewati malam ini untuk bertemu esok pagi?



well, selamat malam dunia..................

15.9.10

my favorite japanese kids

arale

toto chan

ikkyu san
maruko

kobo chan

nobita









 

just for fun


1#
 

2#


 
 
3#
 
 


is love a decision or a feeling?


What does the word “love” evoke in your mind? Is it your love affair with cheesecake or warm chocolate pudding? Or an image of you and your sweetie having an afternoon picnic? When you were a child, you probably loved your teddy bear or your parents. As you grow older, your understanding of love should grow and evolve, just like your understanding of everything else. Too often, we have a shallow understanding of love, concluding as long as two people make each other happy, that’s love.
Love has lots of definitions. The most common are 1) a deep feeling of affection or attachment, 2) sexual affection or 3) a strong liking or predilection for something.
I would suggest that none of these definitions encompasses what mature love involves. In my interviews with long-time married couples, their view of love is not the fly-by-night romantic view. You might be surprised to learn the romance and affection is still there even for older couples, but there is something much more, something that happened along the way to make the love richer and more permanent.
What these mature couples have developed is a view that love is an action—a decision—not a feeling. The fact that they have been married a long time doesn’t mean they didn’t face serious obstacles. What it means is that they found a way through the obstacles. They didn’t always feel loving toward one another, but they decided to love anyway. One couple who faced tremendous difficulties including a marital affair early in their marriage, talked about how this decision to love one another changed their perspective. They found that if they led with loving actions, their feelings soon followed. In other words, after they started acting lovingly, they felt more in love. They transformed their entire marriage more than 30 years ago to an extraordinarily loving one that continues today.
Anyone who has children knows that children don’t always act in ways that deserve love, but good parents decide to love them anyway. You can’t say you love your children while you neglect them. Similarly, you can’t say you love your spouse if you neglect him or her and refuse to act in a loving manner when your spouse doesn’t “deserve” it. For example, if your spouse is having a bad day, do you contribute to it, or do you provide encouragement? If you’re having an argument, do you sometimes choose to give in, or do you dig in your heels?
The bottom line is that you have to decide whom to love and how to love. Use your behavior and choices to lead your feelings, rather than allowing your daily feelings to determine your behavior. That’s mature love.

To love is to choose.–Joseph Roux


retrieved from:
http://lifegems4marriage.com/2009/01/09/is-love-a-decision-or-a-feeling/

we all married the wrong person

Couples in crisis often reach the point where they decide they are just two poorly matched people. This precedes the decision to leave the relationship and go in search of that “right person.” Unfortunately, the odds of a successful marriage go down for each attempt at a new marriage. Psychiatrist and author of The Secrets of Happily Married Men and The Secrets of Happily Married Women and The Secrets of Happy Families, Scott Haltzman, MD, says in truth, they are correct; we all married the wrong person. I found his comments from TV interviews so intriguing that I requested an interview with him to delve into the topic. Dr. Haltzman says even if we think we know a person well when we marry them, we are temporarily blinded by our love, which tends to minimize or ignore attributes that would make the relationship complicated or downright difficult. In addition, both individuals bring different expectations to the marriage, and we change individually and as a couple over time. No one gets a guarantee of marrying the right person, says Dr. Haltzman, so you should assume you married the wrong person. That doesn’t mean your marriage can’t be successful, however.
“Most of us spend a lot of time filtering through possible mates in hopes that we will end up with the right match. Some people believe it’s an issue of finding a soul mate … the one true partner. Whether or not you enter into marriage believing your partner is THE one, you certainly believe he or she is A right person for you,” says Dr. Haltzman.
He explains that if the success of a marriage were based on making the right choice, then those who carefully chose a good match would continue to sustain positive feelings the majority of the time, and over a long period. The theory would be proven correct that choosing well leads to success.  “But the divorce rate in and of itself stands as a great testament to the fallacy of that theory,” says Dr. Haltzman. Even the couples who remain married don’t describe themselves as completely happy with each other, he adds, but rather committed to one another.
“If we believe we must find the right person to marry, then the course of our marriage becomes a constant test to see if we were correct in that choice,” says Dr. Haltzman, adding that today’s culture does not support standing by our promises. Instead, he says we receive the repeated message, “You deserve the best.” These attitudes contribute to marital dissatisfaction, he says.
Dr.  Haltzman shared some research with me about the negative effects in our consumer society of having too many choices—which may lead to increased expectations and lower satisfaction. A book called The Choice Paradox by Barry Schwartz shares research that flies in the face of conventional wisdom. (I will have another post about this topic soon, because there is much insight to glean.) I’ll cut to the chase and reveal that people are happier with the choices they make when there are relatively few choices from which to choose. With too many choices, we can become overburdened and regretful and constantly question our decision. Today, individuals may feel they have many choices of mates, and fear lost opportunities with potential “right” partners. This may happen even after a person is married, as he or she questions the decision to marry with each bump in the road.
“My basic philosophy is we have to start with the premise when we choose our partner that we aren’t choosing with all the knowledge and information about them,” says Dr. Haltzman. “However, outside of the extreme scenarios of domestic violence, chronic substance abuse, or the inability to remain sexually faithful—which are good arguments for marrying the wrong person on a huge scale, and where it is unhealthy or unsafe to remain married—we need to say, ‘This is the person I chose, and I need to find a way to develop a sense of closeness with this person for who he or she really is and not how I fantasize them to be.’”
That choice to work on the relationship can lead to a more profound, meaningful experience together. Dr. Haltzman offers the following tips to help us reconnect or improve our bond:
  • Respect your mate for his/her positive qualities, even when they have some important negative ones.
  • Be the right person, instead of looking for the right person.
  • Be a loving person, instead of waiting to get love.
  • Be considerate instead of waiting to receive consideration.
To underscore the last couple of points, Dr. Haltzman says many people will put only so much effort into a relationship, then say, “I’ve done enough.” But very few of us will do that with our children. “Instead, we say despite their flaws, we wouldn’t want anyone else; yet, our kids can be much more of a pain in the ass than our spouses.”
Finally, he advises, “Have the attitude that this is the person you are going to spend the rest of your life with, so you must find a way to make it work instead of always looking for the back door.”


retrieved from:
http://lifegems4marriage.com/2010/09/10/we-all-married-the-wrong-person/